Jumat, 15 Juli 2011

Indonesia Tempo Doeloe” Pernah Memiliki Seorang Pemenang Nobel Kedokteran

Topic : Academic


By Ari Satriyo Wibowo

Menurut dr. Doddy P. Partomihardjo, Ketua Iluni FKUI, dulu di zaman Hindia Belanda fasilitas laboratorium dan kualitas riset dan penelitian yang dilakukan di Batavia (Jakarta sekarang ) tidak kalah dengan yang ada dan dilakukan di Paris, Perancis.
Tidak mengherankan pula bila Christiaan Eijkman yang melakukan penelitian terhadap penyakit Beri-Beri dan menemukan penyebabnya akibat kekurangan Thiamine (Vitamin B1) berhasil meraih Hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 1929.
Christiaan Eijkman lahir di Nijkerk, Gelderland, Belanda pada 11 Agustus 1858 sebagai anak ketujuh dari Christian Eijkman (senior), seorang kepala sekolah, dan Johanna Alida Pool.
Setahun kemudian, pada 1859, keluarga Eijkman pindah ke Zaandam, dimana ayahnya ditunjuk sebagai kepala sekolah sebuah SD baru di sana. Di sinilah Christiaan dan saudara-saudaranya menerima pendidikan awal. Pada 1875, setelah lulus sekolah menengah Eijkman menjadi mahasiswa Sekolah Kedokteran Militer Universitas Amsterdam, di mana ia dilatih untuk menjadi tenaga medis bagi tentara pendudukan di Hindia Belanda. Eijkman lulus dengan sangat memuaskan.
Dari tahun 1879 hingga 1881, ia menjadi asisten dari T. Place seorang professor Fisiologi. Sambil menjadi asisten ia menulis thesis berjudul On Polarization of the Nerves yang membuatnya berhasil meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan pada 13 Juli 1883. Pada tahun yang sama ia kemudian ditugaskan ke wilayah koloni Belanda di Hindia Belanda. Pertama kali ia ditugaskan di Semarang, kemudian Cilacap, keduanya di Jawa Tengah dan akhirnya di Padang Sidempuan, Sumatra Barat. Ketika di Cilacap itulah ia terkena malaria yang agaknya amat mempengaruhi kesehatannya sehingga pada 1885 ia mengambil cuti sakit dengan kembali ke Eropa.
Bagi Eijkman kembalinya dirinya ke Eropa merupakan suatu berkah sebab memungkinkannya untuk bekerja di laboratorium E. Forster di Amsterdam dan laboratorium bakteriologi Robert Koch di Berlin. Di sinilah kemudian Eijkman bertemu dengan A.C. Pekelharing dan C. Winkler, yang mengunjungi ibukota Jerman itu sebelum kembali ke Hindia Belanda. Melalui pertemuan itu akhirnya Eijkman dipilih menjadi asisten misi Pekelharing-Winkler bersama koleganya M.B. Romeny. Misi itu ditugaskan pemerintah Belanda untuk menyelidiki penyakit Beri-Beri, suatu penyakit yang sedang mewabah di kawasan itu.
Pada tahun 1887, Pekelharing dan Winkler dipanggil pulang ke Belanda. Tetapi sebelum pulang keduanya meminta kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda agar laboratorium yang sudah dibangun sementara untuk keperluan Komisi Rumah Sakit Militer di Batavia agar dibuat permanen. Proposal itu diterima dan Christiaan Eijkman ditunjuk sebagai direktur yang pertama, sekaligus sebagai direktur Sekolah Dokter Djawa yang baru dibentuk (yang merupakan cikal bakal STOVIA atau Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekarang). Itulah akhir karir singkat Eijkman di militer dan sejak itu ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan.
Eijkman menjadi Direktur Laboratorium Kedokteran sejak 15 Januari 1888 hingga 4 Maret 1896. Selama masa-masa tersebut Eijkman melakukan berbagai riset penting. Misalnya penelitian tentang fisilogi penduduk yang hidup di wilayah tropis. Ia berhasil membuktikan bahwa sejumlah teori tidak memiliki data faktual. Pertama-tama ia membuktikan bahwa di dalam darah orang Eropa yang tinggal di daerah tropis sejumlah sel darah merah, serum maupun kandungan air , tidak mengalami perubahan, sepanjang sel darah tidak terkena penyakit yang membuatnya mengalami kondisi anemia.
Temuan terbesar Eijkman justru di bidang yang berbeda. Ia menemukan, setelah kepulangan Pekelharing dan Winkler, bahwa penyebab sesungguhnya Beri-Beri adalah akibat kekurangan beberapa substansi penting yang terdapat dalam makanan pokok penduduk pribumi, yakni pada bagian Pericarpium (”silver skin”) dari beras yang mengandung apa yang kini disebut Thiamine atau Vitamin B1. Penemuan tersebut membawanya kepada konsep dari vitamin. Temuan ini membuatnya meraih Hadiah Nobel Kedokteran dan Fisiologi pada tahun 1929.
Di tengah risetnya tentang Beri-Beri, Eijkman masih menyempatkan diri untuk menulis dua buku textbook untuk Sekolah Dokter Jawa. Pertama di bidang Fisiologi dan kedua di bidang kimia organik.
Pada 1898 ia menggantikan G. Van Overbeek de Meyer, sebagai Profesor di Bidang Hygiene dan Kedokteran Forensik di Utrecht. Pidato pengangkatannya diberinya judul Over Gezonheid en Ziekten in Tropische Gewesten (Masalah Kesehatan dan Penyakit di Daerah Tropis). Di Utrecht, Eijkman kembali memperdalam bakteriologi yang membuatnya terkenal melalu percobaan fermentasi pada air yang tercemar kotoran manusia dan hewan sehingga memicu tumbuhnya bakteri Coli. Riset lainnya tentang tingkat kematian bakteri yang disebabkan faktor eksternal, di mana Eijkman berhasil membuktikan bahwa proses tersebut tak dapat dijelaskan dalam bentuk kurva alogaritma.
Pada 1907, Eijkman ditunjuk menjadi anggota Royal Academy of Sciences dari Negeri Belanda, setelah melakukan korespondensi dengan lembaga itu sejak tahun 1895. Atas jasa-jasanya pemerintah Kerajaan Belanda menganugerahkan gelar kebangsawan kepadanya. Sedangkan pada perayaan ke- 25 Eijkman sebagai profesor pemerintah telah menghimpun dana bagi diselenggarakannya penghargaan yang diberi nama Eijkman Medal. Tetapi mahkota dari semua prestasinya berupa hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 1929.
Eijkman juga menerima penghargaan dari John Scott Medal, Philadelpia dan Foreign Associate of the National Academy of Sciences di Washington. Ia juga menerima penghargaan sebagai Honorary Fellow of the Royal Sanitary Institute di London.
Pada tahun 1883, sebelum keberangkatannya ke Hindia Belanda, Eijkman menikahi Aaltje Wigeri van Edema yang meninggala pada tahun 1886. Di Batavia, Professor Eijkman menikah lagi dengan Bertha Julie Louise van der Kemp pada 1888. Pasangan ini dikarunia seorang anak laki-laki bernama Pieter Hendrik pada 1890 yang di kemudian hari menjadi seorang dokter.
Eijkman meninggal di Utrecht, Belanda pada 5 November 1930.
Di Indonesia, nama Eijkman pada tahun 1993 diabadikan sebagai nama Lembaga Biomolekuler Eijkman yang dipimpin Prof. Dr. Sangkot Marzuki. Sayangnya, lembaga penelitian ini masih minim perhatian dari pemerintah dan belum memperoleh akreditisasi. Alhasil, meskipun secara teknis bisa melakukan uji DNA untuk kepentingan forensik --- seperti kasus Bom Bali --- tapi Eijkman belum mendapat akreditasi. Jadi, secara hukum tidak bisa dijadikan fakta di pengadilan.
Mungkin ini sebuah ironi, setelah Eijkman berdiri pada 1888 lebih seabad yang lalu menjadi lembaga penelitian kesehatan terkemuka dunia dan mengantarkan Christiaan Eijkman meraih Nobel pada 1929. Tetapi dengan hengkangnya Belanda pada 1945 membuat lembaga ini mati dan baru hidup lagi 1993. Namun, kondisinya sekarang malahan jauh ketinggalan dibandingkan lembaga kesehatan terkemuka di dunia lainnya.
Bagaimana pendapat Anda sebagai pembaca awam? (ASW)