Jumat, 15 Juli 2011

Bung Karno Sang Proklamator (1)

Selasa, 10 Mei 2011

Ir. Soekarno
Ini adalah postingan pertama saya di blog Indonesia Tempo Doeloe. Dan saya merasa ada yang kurang kalau tidak saya awali dengan membahas tokoh yang satu ini. Yups, siapa lagi kalau bukan Ir. Soekarno, sang bapak proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Ir. Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur 6 Juni 1901, meninggal di Jakarta 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Beliau adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Beliau memainkan peranan yang sangat penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ir. Soekarno adalah penggali Pancasila, karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan beliau sendiri yang menamainya Pancasila. Ia adalah Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ir. Soekarno jugalah yang menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang kontroversial, yang isinya -berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat- menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jendral Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.

Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia yang kedua.

Bung Karno

Ketika dilahirkan, Bung Karno diberikan nama Kusno Sosrodihardjo oleh orangtuanya. Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".

Di kemudian hari ketika menjadi Presiden RI, ejaan nama Soekarno diganti oleh beliau sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum di dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah. Bung Karno adalah panggilan akrab beliau oleh rakyat Indonesia.

Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.

Bung Karno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat Muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.

Istana Gebang, Blitar, Jawa Timur
Kehidupan

Masa Kecil dan Remaja
Ayah Bung Karno bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Bung Karno lahir. Ketika kecil beliau tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.

Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya menyekolahkan Bung Karno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada Juni 1911, Bung Karno kecil dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).

Pada tahun 1915, Bung Karno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama HOS Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Bung Karno di pondok kediamannya.

Di Surabaya, Bung Karno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Bung Karno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada tahun 1918. Selain itu, Bung Karno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.

Tamat HBS pada tahun 1920, Bung Karno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Bung Karno tinggal di kediaman haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib HOS Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Keluarga Bung Karno
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur
Semasa hidupnya Bung Karno memiliki beberapa istri, yaitu:
1. Oetari (1921–1923)
2. Inggit Garnasih (1923–1943)
3. Fatmawati (1943–1956)
4. Hartini (1952–1970)
5. Kartini Manoppo (1959–1968)
6. Ratna Sari Dewi (1962–1970)
7. Haryati (1963–1966)
8. Yurike Sanger (1964–1968)
9. Heldy Djafar (1966–1969)

Dan Bung Karno di karuniai 5 orang putra dan 5 orang putri, yaitu:
1. Anak yang Bung Karno dapat dari Fatmawati:
    a. Guntur Soekarnoputra
    b. Megawati Soekarnoputri
    c. Rachmawati Soekarnoputri
    d. Sukmawati Soekarnoputri
    e. Guruh Soekarnoputra (dari Fatmawati)
2. Anak dari Hartini bernama Taufan Soekarnoputra dan Bayu Soekarnoputra
3. Anak dari Ratna bernama Kartika Sari Dewi Soekarno
4. Anak dari haryati bernama Ayu
5. Anak dari Kartini bernama Totok Suryawan

Kiprah politik

Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Ir. Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Ir. Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap oleh pemerintah Belanda pada bulan Desember 1929 dan dipenjara di Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 beliau dipindahkan ke Sukamiskin dan memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat (pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Bung Karno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Bung Karno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Bung Karno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.

Pada tahun 1938 hingga tahun 1942, Bung Karno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Dan baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.

Hatta, Soekarno dan Syahrir
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh-tokoh seperti ir. Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Ir. Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.

Bung Karno aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.

Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Ir. Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.

Masa Perang Revolusi
Bung Karno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), panitia kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang atau dikenal dengan Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Ir. Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Ir. Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.

Alasan lain yang berkembang adalah Ir. Soekarno hendak menetapkan moment yang tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dengan dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945, yang pada saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum Muslimin yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum Muslimin kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salam yakni Al-Qur-an.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP. Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Presiden Soekarno dapat menyelesaikan tanpa adanya pertumpahan darah dalam peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, yang akhirnya Christison mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu (dibawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral AWS Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil (double executive). Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan). Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannyalah yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.